Senin, 31 Oktober 2011

KERAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA

A.     KERAJAAN KUTAI MARTADIPURA
Kutai merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Maharaja Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai Martadipura berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa kerajaan Kutai Martadipura berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
 
B.     KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya muncul pada abad ke-6, yang berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangan selanjutnya, wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.  
Masa Kekuasaan Raja Dapunta Hyang
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi yaitu kerajaan Melayu. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Masa Kekuasaan Raja Balaputradewa
Pada masa ini Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaannya. Kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang dengan penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kearah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya serta daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Masa Kekuasaan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman
Sri Sanggrama Wijayatunggawarman adalah raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir. Pada masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh serangan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
C.    KERAJAAN MATARAM KUNO
Pada abad ke-8, muncul Kerajaan Mataram Kuno atau disebut Bhumi Mataram yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegunungan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahannya juga sempat berpindah ke Jawa Timur.
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun 654 atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai membangun kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Setelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancar. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa (Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, menggantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang Yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
D.    KERAJAAN KEDIRI
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentuk cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan Kediri.
E.     KERAJAAN SINGASARI
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur terdapat dalam kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah tentang raja-raja. Kerajaan Singasari dan Majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong Ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak tunggal Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun 1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazah Anusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan Singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoya, Tahta kerajaan Singasari kembali kosong.
Setelah Tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
F.     KERAJAAN MAJAPAHIT
Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menemukan sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakan permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari perlindungan kepada Bupati Madura yang bernama Arya Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura, ia membangun pemukiman di Desa Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menghukum Raja Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri. Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada Cina kembali ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit. Menurut catatan. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1500-an yang didasarkan pada tahun bersimbol Sima Bang Kertaning Bhumi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar